Barometerkaltim.id – Menurut Junaidi, fenomena tanah yang cenderung tidak stabil merupakan masalah umum yang dihadapi wilayah Kalimantan.
Keadaan tanah yang terus bergerak ini mengharuskan pemeliharaan lebih intensif, terutama di area stadion yang menjadi pusat kegiatan olahraga di Kalimantan Timur.
“Tanah ini seperti terus bergerak, dan kalaupun kita pakai pancang, lantainya bisa menggantung sementara tanah di bawahnya tetap turun,” jelas Junaidi.
Fenomena ini pernah dirasakan secara langsung saat konser musik di stadion, ketika gelombang penonton melompat bersama dan permukaan tanah terasa bergoyang.
Junaidi juga memberikan contoh proyek besar yang terdampak tanah labil, seperti Jalan Tol Balikpapan-Samarinda yang mengalami patahan akibat kondisi tanah yang tidak stabil.
Pengalaman serupa juga ditemukan di Serawak, Malaysia, yang menurut Junaidi memiliki tantangan pemeliharaan infrastruktur serupa.
“Pemeliharaan infrastruktur di Serawak lebih menantang dibandingkan di Kuala Lumpur,” ungkapnya.
Di Stadion Utama Palaran, Gedung Serbaguna yang terletak di area stadion juga menjadi contoh nyata dampak tanah labil.
Meskipun sudah dilakukan pengurukan dan pengecoran ulang, lantai gedung masih mengalami penurunan hingga 80 cm. Hal ini menambah beban dalam pemeliharaan fasilitas olahraga di Kalimantan.
Junaidi menegaskan bahwa stabilitas struktur bangunan di Kalimantan, khususnya di stadion, membutuhkan perhatian serius dalam perencanaan dan pemeliharaan jangka panjang.
Walaupun struktur bangunan tetap kokoh, masalah permukaan tanah yang terus bergerak dapat menyebabkan celah-celah pada bangunan.
Oleh karena itu, penanganan tanah labil harus menjadi prioritas dalam setiap pembangunan infrastruktur di wilayah ini.