Barometerkaltim.id – Terkait pemberitaan yang menyebutkan adanya pengusiran seorang pengacara dalam rapat pembahasan eksekusi putusan Mahkamah Agung terkait SMA Negeri 10 Samarinda, DPRD Kalimantan Timur memberikan klarifikasi resmi.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra, menegaskan bahwa tidak pernah ada tindakan pengusiran seperti yang diberitakan. Menurutnya, apa yang dilakukan dalam rapat tersebut adalah permintaan secara baik-baik agar pihak yang tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan meninggalkan ruangan.
“Kami tidak mengusir siapa pun. Tidak ada kata-kata pengusiran atau perlakuan kasar. Kami hanya meminta dengan penuh hormat agar yang bersangkutan meninggalkan tempat, karena secara substansi dan struktur, beliau tidak memiliki kapasitas untuk mengambil atau mewakili keputusan resmi dalam forum itu,” tegas Andi kepada awak media, Senin (19/05/2025)..
Ia menjelaskan, rapat tersebut merupakan agenda resmi lembaga legislatif untuk membahas tindak lanjut putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), mengenai status kepemilikan dan lokasi SMA Negeri 10 Samarinda. Fokus pembahasan adalah pada aspek teknis pelaksanaan putusan tersebut, sehingga pihak-pihak yang hadir diharapkan adalah mereka yang memiliki kapasitas otoritatif untuk menyampaikan atau menyepakati langkah eksekusi.
“Bukan kami menutup ruang dialog, tetapi rapat ini harus berjalan sesuai koridor. Karena ini menyangkut pelaksanaan putusan pengadilan, maka yang hadir seharusnya adalah perwakilan resmi yang bisa mengambil keputusan, bukan kuasa hukum atau pendamping hukum yang fungsinya lebih ke litigasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Andi menyebutkan bahwa laporan yang menyebutkan adanya pengusiran tersebut sudah dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPRD Kaltim. Ia menyambut positif pelaporan itu dan memastikan DPRD bersikap terbuka dan kooperatif dalam seluruh proses yang dijalankan BK.
“Kami sangat menghormati mekanisme internal. Silakan BK menindaklanjuti. Kami siap dipanggil kapan pun dibutuhkan, dan kami akan memberikan penjelasan dengan profesional. Tidak ada yang ditutupi,” katanya.
Ia juga menyesalkan munculnya narasi publik yang menurutnya terlalu dibumbui dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Menurut Andi, informasi yang beredar seharusnya tetap berada dalam konteks yang proporsional dan tidak ditarik menjadi isu provokatif.
“DPRD adalah lembaga yang terbuka. Setiap proses yang kami jalankan berdasarkan tata tertib, kode etik, dan kepentingan publik. Jangan sampai proses yang sebenarnya biasa saja ini dipelintir menjadi isu sensasional. Ini hanya masalah kapasitas peserta rapat, bukan pengusiran,” tambahnya.
Andi menekankan kembali bahwa DPRD dalam posisi untuk menjalankan fungsi pengawasan dan mendorong eksekusi hukum yang sudah sah. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa pemindahan SMA 10 tidak sah dan batal demi hukum. Maka dari itu, rapat yang digelar adalah bagian dari upaya memastikan pemerintah provinsi melaksanakan putusan tersebut secara tepat dan tertib.
“Yang penting bagi kami adalah bagaimana keputusan hukum bisa dijalankan tanpa gejolak di masyarakat. Untuk itu, semua pihak harus menjaga suasana kondusif, dan tidak menggiring opini dengan narasi yang menyesatkan. Kami ingin solusi terbaik bagi semua pihak, terutama bagi siswa dan masyarakat Samarinda Seberang,” tutup Andi Satya Adi Saputra. (Adv/dprdkaltim/yhon)