Barometerkaltim.id – Upah Minimum Provinsi (UMP) Kaltim menurut Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kaltim, Cornelis Iriawan yang terdapat kenaikan UMP 6,2 persen tentu tidak sejalan dengan Permenaker 18 tahun 2022 tentang kenaikan upah.
Seharusnya berdasarkan diangka 10 persen mengikuti inflasi nasional. Pada awalnya tuntutan buruh paling tidak 13 persen kenaikan, karena ekonomi nasional kita tumbuh positif di angka 5,7 persen.
“Jadi, kenaikan upah minimun itu 10-13 persen berdasarkan Permenaker 18 Tahun 2022 itu tentu untuk menaikkan daya beli masyarakat, itu yang pertama.
Yang kedua kalau misalkan daya beli masyarakat itu sudah didukung dengan kenaikan upah minimum maka itu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah,” jelas Cornelis, Rabu (30/11/2022).
KSPI Kaltim mengkritik Gubernur tentang penetapan UMP 6,2 persen, karena selain bertentangan dengan Permenaker 18 Tahun 2022, juga posisi Gubernur ini tidak memihak kepada kelompok pekerja. Kenapa begitu? karena mestinya Gubernur juga hadir langsung mendengarkan pengarahan dari Menteri Tenaga Kerja yang harusnya dinaikkan paling tidak 10 persen.
“Ternyata Permenaker ini tidak diikuti oleh Gubernur. Artinya bahwa dengan 6,2 persen ini tidak akan memberikan efek pada peningkatan daya beli masyarakat Kaltim. Karena itu hanya dikisaran Rp186 ribu, sementara di pandemi Covid-19 kemarin upah sama sekali tidak naik,” kata dia.
Tahun lalu kenaikan secara nasional satu koma sekian persen, juga dikatakannya memperburuk ekonomi masyarakat. KSPI Kaltim juga menyatakan sikap menolak dan kritik keras keputusan gubernur tentang penetapan UMP Kaltim di 6,2 persen.