DPRD Kaltim Minta Perusahaan Hentikan Sementara Aktivitas di Lahan Sengketa

Foto: Wakil Ketua Komisi II, Sapto Setyo Pramono.(Barometerkaltim.id/Yhon)

Barometerkaltim.id Komisi II DPRD Kalimantan Timur mendorong penghentian sementara seluruh aktivitas perusahaan yang beroperasi di atas lahan HGU 01 yang masih dalam proses penyelesaian sengketa. Hal ini ditegaskan Wakil Ketua Komisi II, Sapto Setyo Pramono, yang meminta agar perusahaan tidak melanjutkan kegiatan apapun, termasuk land clearing-red atau aktivitas teknis lainnya, selama masa klarifikasi berlangsung.

“Kita tadi meminta dalam kesimpulan rapat agar segala kegiatan di HGU 01 dihentikan sementara, minimal satu hingga satu setengah bulan. Intinya tidak ada aktivitas apapun dulu sampai kita pastikan kebenaran informasi yang disampaikan masyarakat,” kata Sapto saat ditemui usai rapat dengar pendapat, Senin (02/06/2025).

Ia menjelaskan bahwa langkah penghentian sementara ini bertujuan memberikan ruang bagi semua pihak untuk melakukan verifikasi langsung ke lapangan. Komisi II DPRD Kaltim bersama dengan pemerintah kabupaten, perwakilan masyarakat, dan instansi terkait akan melakukan pengecekan fisik terhadap objek sengketa guna memastikan keabsahan klaim yang selama ini muncul dari warga.

“Jadi nanti kita turun ke lapangan bersama-sama. Semua unsur harus hadir. Kita akan cek benar atau tidak apa yang disampaikan masyarakat. Kita ingin pastikan, apakah masyarakat itu benar memiliki lahan atau hanya sebatas menggarap,” tegas Sapto.

Lebih lanjut, Sapto menekankan pentingnya menyikapi kasus ini dengan bijak. Ia menilai bahwa proses penyelesaian harus adil bagi kedua belah pihak. Jika masyarakat hanya melakukan aktivitas tanam tumbuh di atas lahan yang diklaim, maka kompensasi yang adil seperti tali asih atau ganti rugi tanam tumbuh bisa menjadi solusi yang layak. Hal ini diharapkan bisa meminimalisir konflik berkepanjangan antara perusahaan dan warga.

“Tidak perlu saling menyalahkan. Kalau memang masyarakat hanya menggarap, bukan pemilik lahan, ya kita dorong agar ada bentuk ganti rugi tanam tumbuh yang disepakati. Itu tidak memberatkan perusahaan dan tetap menghormati masyarakat,” imbuhnya.

Terkait progres penyelesaian, Sapto juga menyinggung pertemuan yang sebelumnya telah digelar antara masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada 28 Mei lalu. Dalam pertemuan itu, difasilitasi oleh Pemkab Kukar, beberapa kesepakatan awal mulai dicapai. Namun, Sapto menyayangkan belum adanya penandatanganan resmi dari pihak perusahaan hingga saat ini.

“Ini yang masih jadi kendala. Kita menunggu etiket baik dari pihak perusahaan. Kalau dalam satu dua hari ini belum juga ada respons, maka kami akan mempertimbangkan langkah lanjutan. Bisa lewat jalur hukum, atau kita bentuk Pansus untuk menyelesaikan masalah ini secara lebih mendalam,” tegasnya.

Lebih jauh, Sapto juga menggaris bawahi pentingnya implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Tanah Adat dan Hutan Adat. Menurutnya, perda tersebut sudah cukup kuat sebagai landasan hukum, namun masih banyak kepala daerah yang belum mengimplementasikannya secara maksimal.

“Perda itu sudah ada sejak 2015. Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Paser sudah mulai jalan, bahkan sudah ada ribuan hektare lahan ulayat yang diakui. Tapi masih banyak daerah seperti Berau, Kutim, dan Kukar yang belum menunjukkan langkah konkret,” katanya.

Sapto menegaskan bahwa persoalan lahan dan konflik agraria tidak akan selesai jika pemerintah daerah tidak aktif melindungi wilayah adat dan hak masyarakat. Ia mengajak kepala daerah untuk mengambil peran lebih dalam mengimplementasikan kebijakan yang sudah jelas aturannya.

“Kalau kepala daerahnya sendiri tidak menjaga, jangan berbicara soal hutan rakyat atau tanah ulayat. Ini bukan soal regulasi saja, tapi juga kemauan politik,” tutup Sapto. (Adv/dprdkaltim/yhon)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *