SOEHARTO IS NOT MY HERO

Sumber Ilustrasi gambar : kontras_update

Berita Opini – Menurut UU No 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan syarat menjadi pahlawan nasional antara lain adalah: memiliki integritas moral dan keteladanan; berjasa terhadap bangsa dan negara ataupun setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara. Mungkin harus kita sepakati bersama bahwa bukan jabatan dan kekuasaan yang menentukan seseorang dapat disebut sebagai pahlawan, seharusnya bangsa kita perlu belajar untuk lebih arif dalam memaknai kata pahlawan dan bagaimana menyematkannya kepada orang yang tepat, yaitu mereka yang memegang nilai moral, yang mengorbankan diri untuk kemaslahatan rakyat, dan bukan sebaliknya, mengorbankan rakyat demi kekuasaan.

Bung Karno, pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya” mungkin saya tambahkan sedikit dari kutipan Bung Karno bahwa “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya, tetapi lebih besar lagi bangsa yang tahu siapa yang bukan pahlawan.”

Akhir-akhir ini sangat mencemaskan, realitas politik kita menunjukkan betapa mudahnya gelar kepahlawanan dipolitisasi bahkan di justifikasi. Figur seperti Soeharto, yang sejarahnya sangat sarat dengan pelanggaran HAM, korupsi yang sistemik, dan pembungkaman demokrasi, masih sering diromantisasi oleh sebagian pihak seolah-olah ia adalah “penyelamat bangsa”. Kita seakan lupa bahwa di balik jargon “pembangunan” yang diagung-agungkan, ada jutaan suara yang dipaksa bungkam, darah yang tumpah, dan kebebasan yang dirampas.

Menyebut Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan mengabaikan penderitaan para korban rezimnya. Itu bukan sekadar kesalahan sejarah, melainkan bentuk pengkhianatan moral terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi yang kita perjuangkan pascareformasi. Seorang pahlawan tidak diukur dari lamanya berkuasa atau besarnya proyek yang ia bangun, melainkan dari sejauh mana ia menjaga martabat manusia dan menegakkan keadilan bagi rakyatnya.

Jika bangsa ini masih dengan mudah memberi gelar kehormatan kepada figur-figur yang memiliki rekam jejak kelam di masa lalu, maka kita bukan hanya kehilangan arah moral, tetapi juga kehilangan keberanian untuk menegakkan kebenaran. Sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, sudah seharusnya kita berhenti menuhankan figur yang menindas. Pahlawan sejati bukanlah mereka yang memerintah dengan tangan besi, melainkan mereka yang berjuang tanpa pamrih untuk kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Dan selama sejarah belum dikoreksi dengan jujur, maka impunitas dan romantisme tirani yang berbalut nostalgia palsu akan terus menjadi luka kolektif bagi para korban kebingisan Rezim Orde Baru.

Penulis : Faisal Hidayat (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *