Barometerkaltim.id – Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI di Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya Kota Samarinda baru-baru ini juga turut mengenalkan adanya Direktorat Baru di lingkup jajarannya.
Direktorat Anti Korupsi Badan Usaha (AKBU) KPK dikenalkan yang berfungsi dan fokus pada sistem anti penyuapan dan mitigasi terjadinya risiko kerugian negara dari Badan Usaha Milik Swasta maupun pemerintah daerah.
Jika melihat data KPK BUMD yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah 959 dengan total aset mencapai Rp 854,9 triliun. Sebanyak 274 BUMD juga dicatat mengalami kerugian, 291 BUMD sakit (rugi dan ekuitas negatif). Lalu, 17 BUMD kekayaan perusahaannya lebih kecil daripada kewajibannya (ekuitas negatif).
Dan, 186 BUMD memiliki posisi Dewan Pengawas dan Komisaris yang lebih banyak daripada Direksi, dan 60 persen BUMD tidak memiliki Satuan Pengawas Internal (SPI). Sebagai informasi, Pemprov Kaltim menaungi setidaknya delapan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
PT Bank Pembangunan Daerah Kaltim Kaltara, Perusda Melati Bhakti Satya, PT Migas Mandiri Pratama (MMP), Perusda Bara Kaltim Sejahtera (BKS), Perusda Ketenaga Listrikan, Perusda Sylva Kaltim Sejahtera, PT Asuransi Bangun Askrida dan PT Jamkrida.
Kepala Satuan Tugas III Direktorat Anti Korupsi Badan Usaha (AKBU) KPK, Dwi Aprillia Linda mengatakan, peran AKBU sendiri lebih bagaimana membangun integritas, sistem anti korupsi di Badan Usaha.
Diskusi mengarah kepada semisal adanya kerugian negara dari pemberian kredit pada Badan Usaha pihak ketiga atau Badan Usaha milik Pemda, dia menyebut memang perlu diawali dengan mitigasi risiko jika berbicara terkait kredit, misalnya pada PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim Kaltara yang tercatat pernah memberi kepada kreditur yang berujung pada kredit macet.
Pihaknya dalam hal ini bisa mendorong supaya risikonya dapat ditekan agar tidak terjadi kerugian negara.
“Kredit ini bisa dipetakan, ada bisnis proses, dan memilih itu, mungkin ada pengadaannya, penyaluran kreditnya yang nantinya berisiko rawan macet juga melihat manajemen risiko,” terang Linda.
“Pembangunan sistem pencegahan korupsi nantinya ada tools agar (kredit) tidak macet, jangan sampai ada kasus agunannya bodong, perusahaannya juga tidak ada, dikasih kredit tidak sesuai spesifikasi, ini yang membuat macet,” ujarnya.
Perlunya manajemen risiko jadi salah satu cara juga untuk mitigasi penyuapan. Jika sudah terjadi kredit macet seperti apa? Linda menegaskan, berarti perlu evaluasi dan melihat manajemen risiko serta mana proses yang belum dilakukan.
“Ada fungsi-fungsi audit dan satuan pengawas internal di Bank Kaltimtara, ini juga yang harus diaktifkan untuk mendorong manajemen risiko,” tuturnya.
Dalam hal ini, pihaknya tidak bisa langsung mengintervensi, ketika memang ada kredit macet yang sudah terjadi. Tentunya Direktorat AKBU akan menyatu dengan Direktur Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah.
“Karena pasti akan keluar Surat Kuasa Khusus (SKK) dan bekerja sama dengan Datun Kejaksaan wilayah. Perlu saya sampaikan kami tidak bergerak sendiri, kita akan kerja sama, kami dari manajemen risiko, Deputi Korsup penagihannya kepada penerima kredit, ada kolaborasi,” ucapnya.
BUMN, BUMD atau Pihak Swasta juga Butuh Regulasi Kesesuaian Dalam Dukungan Pencegahan Korupsi
Menurut Direktorat AKBU, langkah pencegahan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh pihaknya yang menyasar Badan Usaha dengan tiga indikasi yaitu penyuapan, pemerasan dan gratifikasi.
Sistem yang didorong adalah sistem anti penyuapan dalam penyelenggaran usaha, baik swasta maupun pemerintah.
“Misalnya, ada BUMN atau BUMD yang ada kaitannya dengan kerugian keuangan negara kita bisa masuk dalam bisnis rolenya,” kata Linda.
Salah satu contoh, Badan Usaha yang dikelola pihak swasta menyampaikan ada penyuapan, dan pihaknya tidak tahu harus menyikapi. Padahal, dalam suatu daerah ada beberapa “pungutan” yang bersifat mengikuti aturan adat di daerah setempat.
Dalam kasus demikian, Linda menilai harus ada kehadiran pemerintah pusat maupun daerah dalam menyikapi, dengan menerbitkan suatu aturan agar tidak terjadi persepsi yang salah karena suatu hukum adat. Di situ AKBU melakukan intervensi ke Pemda dengan berkolaborasi bersama Deputi Korsup di wilayah.
“Itu harus ada regulasi dari Pemda (pungutan adat), Misal, ini contoh yang terjadi di Papua, kita dorong itu, karena di sana boleh ada pungutan adat dalam pemanfaatan hasil hutan. Tapi ternyata pungutan ini terlalu besar, porsi-porsi ini kemudian bisa dibentuk Pemda melalui Peraturan Gubernur,” jelasnya.
“Jadi keluar regulasi mengatur, seperti apa yang boleh dipungut, berapa yang boleh dipungut besarannya, agar tidak membebani pelaku usaha termasuk masyarakat,” imbuhnya.
Tetapi intinya, untuk Badan Usaha, AKBU mendorong sistem anti penyuapan.
Jika memang perlu ada intervensi dari Pemda bahkan Pemerintah Pusat seperti contoh di Papua, harus disertai dengan peraturan atau regulasi yang mengatur agar tidak bertentangan dengan apa yang gencar dilakukan terhadap pemberantasan korupsi.
“Ada Kepmen terkait air tanah dan beberapa regulasi yang dapat mengatur itu. Kita juga akan melihat, apakah dalam praktiknya malah memanfaatkan supaya berkamuflase untuk melakukan penyuapan atau tindakan korupsi,” ucap Linda.