Berita  

Fenomena Ida Dayak dan Pelayanan Kesehatan

Dok : Istimewa

MEMBLUDAKNYA kedatangan orang banyak untuk mendapatkan kesembuhan dari Ida Dayak di Depok, Jawa Barat, baru-baru ini menyadarkan kita akan dua hal.

Pertama, sebagian masyarakat masih mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah.

Kedua, sebagian masyarakat kita percaya bahwa pengobatan alternatif nonmedis merupakan cara untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang diderita.

Kendala layanan kesehatan

Bagi masyarakat golongan ekonomi menengah-bawah, menjadi peserta BPJS, baik secara mandiri maupun disubsidi pemerintah, merupakan kesempatan besar untuk berobat, yang sebelumnya terasa berat karena biaya yang tidak terjangkau.

Saat ini banyak rumah sakit yang kewalahan menerima kedatangan pengunjung untuk berobat, berkat adanya BPJS.

Sebaliknya, mereka yang tidak menjadi peserta BPJS karena pilihan sendiri atau tidak termasuk dalam kelompok masyarakat yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan subsidi iuran harus mencari upaya lain untuk berobat.

Mereka inilah yang mengharapkan layanan yang murah dan mujarab dari “orang pandai” seperti Ida Dayak.

Bagi mereka, berobat ke “orang pandai”, bukan ke rumah sakit atau ke dokter, adalah solusi satu-satunya yang terlihat.

Mereka tidak ke rumah sakit karena enggan mengikuti prosedur pengobatan medis dengan berbagai tes kesehatan, atau memakan waktu yang lama dan biaya transportasi yang tidak sedikit.

Ida Dayak menjanjikan pengobatan yang instan dan tidak bertarif, maka orang berduyun-duyun berdatangan sampai akhirnya distop oleh pihak penyelenggara.

Pengobatan alternatif

Mereka yang datang berobat ke “orang pandai” seperti Ida Dayak (Jakarta, 2023), M. Ponari (Jombang, 2009), Ningsih Tinampi (Pasuruan, 2022) umumnya berharap mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang dideritanya, apakah itu stroke, patah tulang, keseleo, salah urat, bahkan bisu dan tuli.

Mereka tidak terusik dengan metoda penyembuhan yang sama untuk berbagai macam penyakit, dengan menggunakan jampi, minyak gosok, air kembang, batu, dsb.

Atau dengan “memindahkan” penyakit dari seseorang ke hewan tertentu seperti kambing, seperti yang pernah diliput media televisi sekian puluh tahun yang lalu.

Cukup disayangkan bahwa metoda pengobatan alternatif seperti itu masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini, padahal nenek moyang bangsa ini memiliki peradaban yang tinggi sejak ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu.

Agak mustahil untuk meragukan kemajuan pengobatan yang berbasis ilmu pengetahuan pada bangsa Indonesia yang dapat membangun candi sebesar Borobudur pada abad ke 7-9 Masehi ini.

Berbagai kerajaan yang berdiri di Nusantara tentunya mengembangkan metoda pengobatan yang cukup maju pada zamannya, mengingat hubungan yang cukup intensif dengan kerajaan-kerajaan lain termasuk di India dan China.

Demikian juga pada era penjajahan selama ratusan tahun, tentunya ilmu kedokteran dikembangkan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita penduduk.

Pengobatan tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh bangsa sendiri juga tentunya memberikan sumbangan yang berarti pada kemajuan peradaban suku-suku bangsa di Nusantara ini.

Maka pengobatan tradisional yang diwariskan nenek moyang, juga pengobatan alternatif seperti yang dilakukan Ida Dayak dan lain-lain dapat menjadi pelengkap terhadap pengobatan medis berbasis ilmu pengetahuan kedokteran.

Namun untuk itu perlu ada perhatian dan pemantauan dari otoritas kesehatan di pusat dan daerah terhadap pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif.

Jangan sampai penderitaan seseorang yang sakit bertambah parah karena metoda penanganan yang keliru. Misalnya, seorang penderita kanker akan terlambat ditangani jika diperlakukan sama dengan penderita patah tulang oleh “orang pandai”.

Regulasi terkait dengan pengobatan tradisional dan pengobatan alternatif perlu terus dikaji efektivitasnya, untuk memastikan sampainya pelayanan kesehatan untuk segenap masyarakat melalui berbagai cara.

Bukan mistis

Untuk menjadi bangsa yang sehat, pemahaman terhadap anatomi tubuh manusia perlu disebarluaskan.

Masih banyak orang yang percaya bahwa suatu penyakit disebabkan oleh sesuatu yang mistis, bukan oleh sebab-sebab yang dapat dinalar, dilihat, diuji dan dibuktikan di laboratorium.

Kemajuan teknologi komputer dan ilmu kedokteran yang pesat telah semakin membuka pemahaman tentang apa yang terjadi pada tubuh seseorang yang mengidap suatu penyakit atau mengalami perubahan dalam tubuhnya.

Teknologi ultrasonografi (USG), misalnya, sudah terbukti berguna untuk mendeteksi kondisi janin dalam kandungan ibu hamil.

Jenis kelamin janin pun dapat dengan mudah diketahui jauh sebelum dilahirkan. Berbagai instrumen medis yang penting perlu dimiliki oleh fasilitas kesehatan untuk keperluan mendiagnosa penyakit.

Ketersediaan instrumen medis akan mempercepat penanganan penyakit dan penderitaan pasien. Penyakit bukan lagi mistik, namun konkret dan dapat dianalisis dengan jelas.

Kementerian Kesehatan merencanakan untuk melengkapi setiap puskesmas dengan alat USG. Upaya ini perlu dilanjutkan dengan pengadaan instrumen lain yang lebih canggih, juga pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut.

Keterbatasan peralatan diagnosis kedokteran di suatu rumah sakit dapat menyebabkan waktu pengobatan yang lama, yang dapat membuat parah penderitaan banyak pasien.

Pemerintah perlu bertindak cepat dan tepat untuk mengelola pelayanan kesehatan bagi ratusan juta warganya.

Saat ini DPR dan pemerintah sedang memusatkan perhatiannya pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan.

Adanya regulasi yang lengkap, terpadu dan mutakhir memang perlu, namun jangan sampai hal-hal teknis di depan mata menjadi terabaikan.

Konkretnya, melengkapi fasilitas pelayanan kesehatan dengan peralatan medis yang penting perlu disegerakan.

Dengan demikian, warga akan mendatangi puskesmas dan rumah sakit, yang memastikan bahwa proses pengobatan berlangsung dengan cepat, efektif dan terjangkau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *