Barometerkaltim.id – Dari data Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kalimantan Timur (Kaltim), sejak 2014 lalu Jembatan Mahakam Samarinda telah tertabrak sebanyak 20 kali oleh tongkang bermuatan batu bara.
Oleh sebab itu, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) Kaltim mengatakan perlu dilakukan pemugaran terhadap jembatan yang berdiri sejak 1987 tersebut.
Insiden ke sekian kalinya ini pun turut menjadi perhatian Persatuan Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional Indonesia atau Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) yang mengatakan bahwa proses pengolongan pasti akan dipandu atau diassist-kan.
“Jadi harus ada evaluasi dari Pelindo, karena itu pekerjaan Pelindo,” kata Ketua DPC INSA Samarinda Agus Sakhlan kepada media.
Meski begitu pihaknya tidak mengomentari lebih insiden tertabraknya pilar 3 Jembatan Mahakam tersebut sebab kini masih proses penyelidikan oleh Polresta Samarinda dan KSOP Kelas II Samarinda.
“Cuma yang harus intropeksi itu ya Pelindo. Karena kami selama ini ikut memantau dan sudah memberi masukan apa yang kurang dan harus dilakukan,” jelasnya.
Agus juga mengatakan insiden tersebut bukan kesalahan dari pemilik kapal, melainkan Pelindo.
“Karena ada kapal pandu di situ, ada advis yang tugasnya memandu apakah lurus, ke kiri atau ke kanan. Jadi pandu juga bertanggung jawab di situ,” tegasnya.
Dikonfirmasi terkait hal tersebut, General Manager PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV Jusuf Junus pun memberikan tanggapan.
Ia menegaskan berdasarkan ordonansi atau aturan pemanduan, pandu hanya sebagai adviser dan supervisi pelayaran.
Artinya supervisi pelayaran hanya mengikuti perjalanan kapal melewati area pengolongan.
Oleh sebab itu ia menegaskan Pandu tidak mempunyai hak mengambil alih nakhoda untuk merubah posisi kapal.
“Jadi itu semua tanggung jawab nakhoda karena yang paling tahu pergerakan kapalnya itu adalah nakhodanya. Tidak ada satu aturan pun yang membebaskan nakhoda dari kejadian itu,” tegasnya, Rabu (28/12/2022).
Selain itu, Jusuf membeberkan bahwa pandu hanya dibayar kurang dari Rp 300 ribu untuk sekali pemanduan.
“Jika disuruh ganti miliaran rupiah, apakah proposional?,” Ucapnya bertanya.
Namun ia menegaskan bahwa memang perlu bagaimana agar dapat menciptakan pola sehingga kejadian serupa tidak lagi terjadi.
“Kami akan buatkan corrective action (evaluasi) agar insiden ini tidak terus berulang,” tukasnya.